MUSIK mengalun lembut dari pengeras suara. Lagu pop berjudul “Jomblo Ditinggal Mati” menari-nari di telinga sekelompok orang dewasa. Di depan mereka, perempuan-perempuan pengumbar aurat menghiasi tatapan mata. Begitulah suasana Ramadhan di ibukota negara berpenduduk Muslim terbesar se-dunia.
Judul demi judul lagu berganti. Saya tak tenang menikmati perjalanan ini. Bukan perkara mudah menjalani Ramadhan di Jakarta. Apalagi ketika berbaur dengan kehidupan masyarakat metropolitan. Butuh kesabaran dan ketahanan militan.
Seperti saat itu, dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta. Berangkat dari Cawang, Jakarta Timur menuju Cengkareng, Tangerang, Banten, kami menumpang sebuah kendaraan pribadi.
Sudah biasa jika pada hari-hari kerja di waktu pagi, jalur Tol Dalam Kota macet ke arah pusat Jakarta. Walau terbiasa, tetap saja tidak menyenangkan. Ditambah situasi dalam mobil yang membuat saya semakin tak tenang.
Sang supir menyetel musik bertema “cinta monyet”. Bagi saya, sungguh tidak elok mendengarkannya apalagi di bulan suci Ramadhan. Aplikasi Quran Reader di smartphone pun saya buka guna mengalihkan perhatian. Penumpang lain tampak menikmati musik alunan demi alunan.
Situasi lain yang kontras dengan kesakralan Ramadhan adalah pemandangan di luar mobil. Di kanan-kiri sepanjang Jalan MT. Haryono – Jalan Gatot Subroto hingga masuk Tangerang, berdiri baliho-baliho iklan raksasa dihiasi gambar model-model wanita berpakaian seronok.
Mau tidak mau, baliho itu terlihat saat para penumpang menatap ke luar jendela. Sungguh mata ini tersiksa. Sedikit “terhibur” saat melihat baliho iklan bertema “sahur” dan “buka puasa”. Selebihnya, Jumat (26/7/2013) pagi itu seakan bukan bulan Ramadhan.
Jauh Yaman dari Busway
Selepas Shalat Jumat di salah satu masjid kompleks bandara, saya bergegas menuju Terminal 2D Soekarno Hatta International Airport. Di sana telah menunggu Ivan, seorang sahabat yang baru saja tiba dari Yaman. Tujuan saya ke sini memang hendak menemuinya. Apa katanya begitu melihat pemandangan di bandara?
“Di Yaman sudah ‘syukur’ kalau bisa lihat muka perempuan, pakai cadar semua. Di sini (Jakarta) berhamburan, terbuka-terbuka lagi (pakaiannya),” ketus bujang ini setengah berguyon, ketika dihadapkan banyaknya wanita berpakaian tak Islami di bandara.
Ivan sudah empat tahun meninggalkan Indonesia. Kebiasaan menjalani Ramadhan di Timur Tengah tentu berbeda dengan negeri sendiri. Butuh waktu baginya untuk beradaptasi kembali dengan “budaya” nusantara.
Dia bercerita, jangankan di bulan Ramadhan, di hari-hari biasa pun Yaman sudah terasa begitu kondusif dalam berpuasa. Pandangan mata jauh lebih terjaga dibanding di Tanah Air.
Bagi saya, Indonesia dalam hal ini memang tak sebanding dengan negara-negara Jazirah Arab. Kepada Ivan saya bilang, menjalani Ramadhan di Indonesia lebih berat ujiannya.
Teringat sebuah perjalanan selepas liputan di Masjid Istiqlal pada Ramadhan 1433 H silam. Dari Istiqlal saya menumpang bis TransJakarta (TransJ) jurusan Harmoni-PGC. Seperti biasa pada sore hari, bis gandeng ini penuh muatan.
Para penumpang himpit-himpitan di dalam bis. Walau petugas TransJ sudah berusaha memisahkan, tetap saja pria-wanita bercampur-baur. Berdiri di lambung tengah bis, saya tak berkutik ketika semakin banyak penumpang naik.
Makin lama, makin banyak penumpang yang merapati tubuh ringkih saya. Termasuk para wanita dengan aurat terbuka. Dempet-dempetan pun tak terhindarkan.
Dalam kondisi begitu, istighfar kepada Allah adalah pelarian pertama. Parahnya kemacetan memperlama waktu tempuh TransJ. Jalur busway tak lagi steril, disesaki kendaraan-kendaraan lain.
Sungguh suasana Ramadhan yang ironis. Ketika setiap Muslim dituntut mempuasakan diri dari berbagai hawa nafsu, justru para penumpang –yang tentu mayoritas Muslim– terpaksa “bermaksiat” dalam kondisi darurat.
Kondisi ini kerap menimbulkan pelecehan seksual. Kondisi ini pula yang menjadi salah satu penyebab saya, dan banyak penghuni Jakarta lainnya, berpaling ke angkutan pribadi.
Teman saya lainnya yang pernah tinggal di Yaman bercerita pada suatu kesempatan. Di Negeri Saba itu, pantangan bagi seorang pria masuk ke angkutan umum jika di dalamnya terdapat seorang saja wanita. Yaman memang bukan Indonesia, batin saya.
Hilang…
Jumat pagi di hari ke-17 Ramadhan 1434 H itu, saya masih di atas Tol Dalam Kota. Ditemani 6 pria dan seorang wanita berjilbab yang tak satu pun saya kenal. Selain supir, kami bertujuh memang menumpang sebuah angkutan pribadi berbayar. Saya memilihnya saat “darurat”.
Mobil kami melewati Jembatan Semanggi, Jakarta Pusat. Di sini kemacetan mulai terurai. Semakin dekat ke bandara semakin lancar. Selancar pergantian lagu yang entah sudah berapa judul berlalu. Kali ini supir memutar lirik milik grup band “Wali”.
Nada-nada religi mengalun lembut dari loudspeaker mobil. Shalawat kepada Rasulullah menari-nari di telinga para penumpang. Diiringi lentingan musik pengundang syahwat berjoget.
Dari Quran Reader, saya mengarahkan pandangan kembali ke luar jendela. Di jalur tol arah berlawanan, terlihat beberapa reklame bermuatan religi.
“Marhaban Yaa Ramadhan!” bunyi pesan pada reklame itu.
Tulisannya besar, berwarna putih dengan latar hijau. Menempel di belakang gerbang-gerbang tol. Saat melintasinya, saya memutar kepala ke samping kanan, lalu menahan putaran leher untuk tetap melihatnya.
Pesan itu perlahan menjauh, seiring kendaraan yang terus melaju. Menghilang ditelan padatnya perkotaan. Ayat-ayat al-Qur’an pada layar smartphone masih tergenggam di tangan. Segera saya balikkan kepala perlahan. Sebelum Ramadhan benar-benar hilang diterkam metropolitan.* (Sumber : Hidayatullah[dot]com )
Judul demi judul lagu berganti. Saya tak tenang menikmati perjalanan ini. Bukan perkara mudah menjalani Ramadhan di Jakarta. Apalagi ketika berbaur dengan kehidupan masyarakat metropolitan. Butuh kesabaran dan ketahanan militan.
Seperti saat itu, dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta. Berangkat dari Cawang, Jakarta Timur menuju Cengkareng, Tangerang, Banten, kami menumpang sebuah kendaraan pribadi.
Sudah biasa jika pada hari-hari kerja di waktu pagi, jalur Tol Dalam Kota macet ke arah pusat Jakarta. Walau terbiasa, tetap saja tidak menyenangkan. Ditambah situasi dalam mobil yang membuat saya semakin tak tenang.
Sang supir menyetel musik bertema “cinta monyet”. Bagi saya, sungguh tidak elok mendengarkannya apalagi di bulan suci Ramadhan. Aplikasi Quran Reader di smartphone pun saya buka guna mengalihkan perhatian. Penumpang lain tampak menikmati musik alunan demi alunan.
Situasi lain yang kontras dengan kesakralan Ramadhan adalah pemandangan di luar mobil. Di kanan-kiri sepanjang Jalan MT. Haryono – Jalan Gatot Subroto hingga masuk Tangerang, berdiri baliho-baliho iklan raksasa dihiasi gambar model-model wanita berpakaian seronok.
Mau tidak mau, baliho itu terlihat saat para penumpang menatap ke luar jendela. Sungguh mata ini tersiksa. Sedikit “terhibur” saat melihat baliho iklan bertema “sahur” dan “buka puasa”. Selebihnya, Jumat (26/7/2013) pagi itu seakan bukan bulan Ramadhan.
Jauh Yaman dari Busway
Selepas Shalat Jumat di salah satu masjid kompleks bandara, saya bergegas menuju Terminal 2D Soekarno Hatta International Airport. Di sana telah menunggu Ivan, seorang sahabat yang baru saja tiba dari Yaman. Tujuan saya ke sini memang hendak menemuinya. Apa katanya begitu melihat pemandangan di bandara?
“Di Yaman sudah ‘syukur’ kalau bisa lihat muka perempuan, pakai cadar semua. Di sini (Jakarta) berhamburan, terbuka-terbuka lagi (pakaiannya),” ketus bujang ini setengah berguyon, ketika dihadapkan banyaknya wanita berpakaian tak Islami di bandara.
Ivan sudah empat tahun meninggalkan Indonesia. Kebiasaan menjalani Ramadhan di Timur Tengah tentu berbeda dengan negeri sendiri. Butuh waktu baginya untuk beradaptasi kembali dengan “budaya” nusantara.
Dia bercerita, jangankan di bulan Ramadhan, di hari-hari biasa pun Yaman sudah terasa begitu kondusif dalam berpuasa. Pandangan mata jauh lebih terjaga dibanding di Tanah Air.
Bagi saya, Indonesia dalam hal ini memang tak sebanding dengan negara-negara Jazirah Arab. Kepada Ivan saya bilang, menjalani Ramadhan di Indonesia lebih berat ujiannya.
Teringat sebuah perjalanan selepas liputan di Masjid Istiqlal pada Ramadhan 1433 H silam. Dari Istiqlal saya menumpang bis TransJakarta (TransJ) jurusan Harmoni-PGC. Seperti biasa pada sore hari, bis gandeng ini penuh muatan.
Para penumpang himpit-himpitan di dalam bis. Walau petugas TransJ sudah berusaha memisahkan, tetap saja pria-wanita bercampur-baur. Berdiri di lambung tengah bis, saya tak berkutik ketika semakin banyak penumpang naik.
Makin lama, makin banyak penumpang yang merapati tubuh ringkih saya. Termasuk para wanita dengan aurat terbuka. Dempet-dempetan pun tak terhindarkan.
Dalam kondisi begitu, istighfar kepada Allah adalah pelarian pertama. Parahnya kemacetan memperlama waktu tempuh TransJ. Jalur busway tak lagi steril, disesaki kendaraan-kendaraan lain.
Sungguh suasana Ramadhan yang ironis. Ketika setiap Muslim dituntut mempuasakan diri dari berbagai hawa nafsu, justru para penumpang –yang tentu mayoritas Muslim– terpaksa “bermaksiat” dalam kondisi darurat.
Kondisi ini kerap menimbulkan pelecehan seksual. Kondisi ini pula yang menjadi salah satu penyebab saya, dan banyak penghuni Jakarta lainnya, berpaling ke angkutan pribadi.
Teman saya lainnya yang pernah tinggal di Yaman bercerita pada suatu kesempatan. Di Negeri Saba itu, pantangan bagi seorang pria masuk ke angkutan umum jika di dalamnya terdapat seorang saja wanita. Yaman memang bukan Indonesia, batin saya.
Hilang…
Jumat pagi di hari ke-17 Ramadhan 1434 H itu, saya masih di atas Tol Dalam Kota. Ditemani 6 pria dan seorang wanita berjilbab yang tak satu pun saya kenal. Selain supir, kami bertujuh memang menumpang sebuah angkutan pribadi berbayar. Saya memilihnya saat “darurat”.
Mobil kami melewati Jembatan Semanggi, Jakarta Pusat. Di sini kemacetan mulai terurai. Semakin dekat ke bandara semakin lancar. Selancar pergantian lagu yang entah sudah berapa judul berlalu. Kali ini supir memutar lirik milik grup band “Wali”.
Nada-nada religi mengalun lembut dari loudspeaker mobil. Shalawat kepada Rasulullah menari-nari di telinga para penumpang. Diiringi lentingan musik pengundang syahwat berjoget.
Dari Quran Reader, saya mengarahkan pandangan kembali ke luar jendela. Di jalur tol arah berlawanan, terlihat beberapa reklame bermuatan religi.
“Marhaban Yaa Ramadhan!” bunyi pesan pada reklame itu.
Tulisannya besar, berwarna putih dengan latar hijau. Menempel di belakang gerbang-gerbang tol. Saat melintasinya, saya memutar kepala ke samping kanan, lalu menahan putaran leher untuk tetap melihatnya.
Pesan itu perlahan menjauh, seiring kendaraan yang terus melaju. Menghilang ditelan padatnya perkotaan. Ayat-ayat al-Qur’an pada layar smartphone masih tergenggam di tangan. Segera saya balikkan kepala perlahan. Sebelum Ramadhan benar-benar hilang diterkam metropolitan.* (Sumber : Hidayatullah[dot]com )